A. PENDAHULUAN
Pegunungan Niut adalah salah satu hutan cagar alam di Kalimantan Barat yang terletak di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia. Berada di dua Kabupaten di kalimantan Barat. Yakni; Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang. Komunitas Masyarakat adat Dayak sudah tinggal di wilayah ini beratus tahun yang lalu. Jumlah penduduk di kawasan ini diperkirakan sebesar 20 ribu jiwa. Penduduk ini mendiami baik kawasan inti maupun di kawasan zona penyangga pegunungan Niut. Sejak tahun 2003, Perkumpulan PENA telah bekerja di wilayah ini. Namun belum bisa mencakup keseluruhan wilayah yang ada. Wilayah kerja perkumpulan PENA terbagi dalam 7 sub suku. Diantaranya Subsuku Dayak semambakng, Dayak Sebiak, Dayak Busuti, Dayak Sepadakng, Dayak Kemayo, Dayak Entoro dan Dayak Soong. Mereka mendiami 32 kampung di wilayah pegunungan niut. Dari segi populasi, daerah dampingan PENA saat ini berjumlah 3857 jiwa[1]. Di wilayah dampingan PENA adalah wilayah hutan-hutan primer yang menjadi penyuplai air di dua sungai besar di kabupaten Landak dan kabupaten Bengkayang. Yaitu sungai Landak dan sungai Seluas. Dari hutan ini, juga tersedia segala macam kebutuhan masyarakat adat mulai dari bahan pembuatan rumah (kayu), sumber protein (binatang buruan, ikan), sumber air bersih, obat-obatan tradisional dan sumber energi (damar, kayu bongek[2]). Hutan primer ini kondisinya masih terjaga dengan baik karena masyarakat adat setempat memiliki aturan yang ketat dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alamnya. Aturan ini meraka lakukan dengan menuruti ketentuan adat yang sudah mereka praktikan sejak zaman nenek moyang mereka. Pelanggaran terhadap aturan adat akan mendatangkan sanksi yang sangat berat bagi si pelaku. Bagi masyakat adat di pegunungan Niut, istilah Agroforestry tidak mereka kenal. Tetapi substansi dari agroforestry telah mereka praktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Selain mengambil keuntungan dari hutan, masyarakat adat Pegunungan niut kebanyakan hidup sebagai peladang. Karet adalah komoditi utama selain lada (sahang). Tetapi sebagai selingan, mereka menanam cabe, jangung, ubi, timun, dan sayur-sayuran.
B. POLA PENGELOLAAN LAHAN
B.1. Wilayah Pemanfatan Hutan Pola mengelola hutan bagi masyarakat adat Dayak bukanlah pekerjaan baru. Pengelolaan hutan secara kearifan lokal secara turun temurun masih di jaga hingga sekarang. Hutan bagi masyarakat Dayak bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi hutan merupakan Identitas atau jati diri bagi masyarakat Dayak yang tinggal di sekitarnya. Karena kalau Masyarakat Dayak tidak mempunyai hutan, identitas kedayakannya akan dipertanyakan. Hampir 90% Masyarakat Adat pegunungan niut pencahariannya berladang. Aktivitas berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Tanpa hutan, maka tidak ada ladang. Tidak ada ladang, maka tidak ada upacara adat. Tidak ada upacara adat, maka mereka bukan lagi disebut masyarakat adat. Berladang tidak memerlukan areal hutan yang luas (maksimal sebidang ladang 1,5 hektar)[3]. Diladang, MA menanam Padi, jagung, dan sayur-sayuran. Tahapan berladang dimulai dari mencari lokasi untuk berladang, tebas tebang, menugal, merumput, dan panen. setelah panen, bekas ladang ditanami pepohonan (Misalnya Karet, tengkawang, Rotan, Damar dan aneka jenis buah-buahan) sehingga dalam waktu 10-15 tahun sudah menjadi hutan kembali. Masyarakat Adat Dayak Pegunungan Niut menyebutnya Temawokng. Di Temawokng inilah tempat hutan dan pertanian bertemu, tempat struktur hutan dan logika pertanian bersimpangan yang lebih dikenal dengan sebutan Agroforest. Pengembangan Temawokng sebagai Agroforest dan sistem ladang hubungannya sangat erat. Sebagaian besar Agroforest diciptakan oleh para peladang. Beberapa agroforest memerlukan ladang untuk regenerasi. Walaupun peladang ( sebagian besar adalah Masyarakat adat) sering dipersalahkan sebagai penggundul hutan, penyebab asap, dan pemusnahan suberdaya hayati, kita semua harus mengakui peladang telah memberikan sumbangan terbesar pada pemulihan hayati, konservasi keanekaragaman hayati dan pengembangan ekonomi di areal-areal hutan karena mempunyai sistem pengelolaan Sumber daya alam yang terbukti adil dan lestari. Berdasarkan penelitian Institut Dayakologi (1997) ada lima prinsip dasar pengelolaan Sumberdaya alam menurut budaya Dayak. Yakni 1) Berkelanjutan (sustainability)2) kebersamaan (collectivity)3) keanekaragaman hayati (Biodiversity)4) subsistem 5) Tunduk kepada hukum adat. Selain berladang ladang, MA pegunungan Niut juga rata-rata membuka kebun. Lokasi kebun biasanya tidak jauh dari rumah tinggal. Di kebun, mereka menanam lada (Sahang), coklat, dan Gaharu. Lada di panen setiap satu tahun sekali. Coklat harus menunggu sekitar 3 tahun. Untuk gaharu, Masyarakat, baru sejak tahun 2006 menanamnya di kebun. Karena dulu gaharu masih banyak di hutan. Sekarang Mereka menyadari kalau persedian gaharu semakin sedikit sehingga mereka mengambil anak gaharu dihutan dan menanamanya di kebun masing-masing. Apalagi sekarang ada obat suntik gaharu yang disebut Inkulat yang dijual bisa membuat kayu gaharu itu berisi dan mendapatkan hasil. Untuk gaharu yang berisi dan di klarifikasikan kelas A, maka harganya akan tinggi. Bisa mencapai 1 juta rupiah/ons .
B.2. Wilayah Larangan Pemanfaatan Namun, tidak semua areal hutan yang bisa dikelola oleh Masyarakat Adat. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh di olah menjadi ladang dan kebun. Wilayah-wilayah itu adalah sepanjang aliran sungai dan diatas puncak bukit. Sungai adalah sumber air yang dikosumsi warga kampung setiap hari. Disungai juga berbagai aktivitas masyarakat ada dilakukan. Seperti mencuci, mandi, mencari ikan dan lainya. Agar air sungai tetap bersih dan tidak tercemar, sejak dulu masyarakat adat pegunungan niut tidak membuat ladang atau kebun di tepi sungai. Dengan demikian, bebagai jenis kayu yang semula tumbuh di tepi sungai tersebut tetap ada dan dijaga sebagai pelindung dan penangkal erosi. Begitu juga dengan areal di atas bukit. Selain sebagai penagkal longsor dan penyedia air bersih, hutan diatas bukit harus di jaga supaya habitat hewan buruan seperti Babi hutan, kijang, rusa, dan sebagainya tidak punah.
C. TANTANGAN DAN ANCAMAN
Meski sangat terbatas, masyarakat adat pegunungan Niut sudah berusha memanfaatkan sumber daya alamnya agar bernilai ekonomi. Potensi seperti lada dan coklat dikembangkan dengan maksimal. Namun keterbatasan sarana transportasi membuat sangat banyak potensi hasil hutan non kayu yang belum temanfaatkan. Salah satunya adalh damar. Daerah Niut merupakan penghasil damar yang sangat bagus kwalitasnya tetapi untuk dibawa/ dijual ke ibukota kecamatan membutuhkan biaya transportasi yang sangat tinggi. Akibatnya masyarakat masih enggan memanfatakannya. Sementara pemerintah tidak melakukan upaya maksimal untuk mngatasi persoalan sulitnya transportasi masyarakat. Pemerintah hanya tertarik untuk menguras sumber daya alam dengan cara-cara yang tidak lestari melalui pemberian Hak penguasaan hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan.
Untuk saat ini kawasan masyarakat adat pegunungan niut belum tersentuh dari berbagai macam model perusahaan yang merusak ekologi hutan mereka. Namun, mereka tidak dapat menutup mata dengan ancaman yang akan dan sedang berlangsung di wilayah mereka kedepan yang akan menghancurkan hutan mereka yang masih perawan ini.
Ancaman-ancaman dan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh masyarakat adat pegunungan Niut baik dari dalam maupun dari pihak luar adalah : 1. Ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Indonesia merencakanan akan membangun mega proyek perkebunan kelapa sawit di perbatasan indonesia –malaysia seluas 1,8 juta hektar[4]. Di wilayah pegunungan Niut sebuah perusahaan bernama PT. Erlangga bahkan sudah menggusur lahan milik warga dan sedang berkonflik dengan masyarakat[5].
2. Proyek pembangunan bendungan (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Pemerintah Kabupaten Landak sudah melakukan survey untuk membuat Bendungan yang berpotensi menenggelamkan kampung-kampung di wilayah penyangga pegunungan Niut. Sebenarnya potensi sumber daya air di pegunungan Niut sangat besar untuk dijadikan pembangunan minihydro yang berguna bagi masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Sayangnya sampai sekrang belum ada pihak-pihak yang tertarik untuk mendukung proyek minihydro ini[6]. 3. Ketidakjelasan Tata batas antar kampung/ desa. Saat ini batas antar kampung dan desa adalah batas alam. Belum ada batas yang jelas yang dapat dimengerti oleh semua warga karena belum dilakukan pemetaan partisipatif di wilayah ini. 4. Minimnya infrastruktur transportasi. Selain ancaman dari pengerusakkan lingkungan, masyarakat adat pegunungan niut sangat kesulitan dalam akses pasar. Seperti kebanyakan masyarakat adat yang tinggal jauh dari kota, masyarakat adat pegunungan niut sangat terisolasi. Karena jalan yang menghubungkan wilayah ini dengan dunia luas masih belum terhubung. Sehingga sangat sulit bagi MA Pegunungan Niut untuk menjual hasil pertanian seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang mudah busuk. Yang dapat di jual adalah hasil perkebunan yang tidak mudah busuk seperti karet, sahang, coklat, dan jerenang (buah rotan). Di pengumpul lokal, harga karet hanya Rp 6500/kg. Sedangkan bengkayang bisa mencapai 9000-10000/kg. Menurut seorang pengumpul lokal, ini disebabkan ongkos transportasi yang juga mahal. untuk menuju pegumpul besar di bengkayang, harus menggunkan ojek, motor air, dan truk. Dari ojek saja sudah dipotong rp 1000/kg, motor air 500/kg, dan truk 500/kg. Jadi bayangkan berapa untung nya bagi pengumpul lokal. Begitu juga yang terjadi dengan Damar. Yang yang terdapat di wilayah pegunungan niut terkenal dengan nama Damar mata kucing. Namun menjadi tidak bernilai ekonomis karena atau keuntungan hanya habis di ongkos transportasi.
D. LANGKAH DAN UPAYA
Sebagai organisasi yang melakukan pendampingan pada MA Pegunungan Niut, Perkumpulan PENA dengan segala keterbatasan (sumberdaya dan dana) berusaha keras untuk melakukan upaya maksimal guna pemberdayaan mayarakat adat. Beberapa pekerjaan perkumpulan Pena di wilayah pegunungan niut yang bisa dirasakan secara nyata hasilnya saat ini adalah :
1. Dalam bidang ekonomi : mendorong masyarakat menjadi anggota CU. Sampai September 2006, 187 orang masyarakat menjadi anggota Credit Union dengan aset Rp. 850 juta (US $ 90,000) . 2. Dalam bidang ekonomi, mendorong masyarakat membuat kelompok usaha bersama petani karet. Dari 4 kelompok yang dibentuk, 1 bangkrut dan 3 lainnya sukses dengan anggota masing-masing 20 orang petani karet[7]. 3. Dalam bidang penguatan institusi masyarakat adat, Perkumpulan PENA mendorong masyarakat untuk menguatkan kembali lembaga lokal yang mereka miliki melalui rangkaian musyawarah kampung yang di simpulkan dalam Musyawarah besar Masyarakat adat pegunungan Niut pada Mei 2005[8]. 4. Dalam bidang Media, perkumpulan PENA mendirikan Radio komunitas MAPEN yang terletak di Desa Bentiang pada tahun 2006[9].
Berbagai aktivitas diatas hanyalah serpihan kecil dari kebutuhan esar masyarakat adat pegunungan Niut yang menjadi ilayah kerja PENA. Khusus untuk pemanfaatkan sumber daya hutan non kayu, PENA belum bisa melakukan banyak hal karena keterbatasan infrastruktur dari wilayah dampingan untuk menjual komonidatas bernilai ekonomi kepada konsumen di luar. Namun kami percaya, sesedikit apapun yang kami buat apabila kami melakukannya dengan tulus demi harkat dan martabat masyarakat adat Dayak, maka kami akan diberkati. Pada akhirnya masyarakat sendiri yang akan merasakan dampaknya.
**************************** [1] Data Base, Perkumpulan PENA, September 2006. [2] Nama latin belum diketahui, tetapi sebelum ada minyak tanah, masyarakat memanfaatannya menjadi sumber penerangan selain damar. [3] Opcit, data based PENA, September 2006. [4] Setelah mendapat banyak protes, pemerintah mengurangi jumlah wilayah rencana sawit menajdi 180 ribu hektar. [5] Kasus ini dalam dampingan PENA. [6] Saat ini masyarakat mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membeli minyak tanah dan solar untuk kebutuhan energi listrik. [7] Usaha bersama yang bangkrut dikarenakan rendahnya kesadaran untuk mengembalikan pinjaman. Sementara yang berhasil memiliki aset ratarata Rp. 15 juta. [8] PENA, tidak gegabah membentuk organisasi rakyat baru/ modern di wilayah ini. Kami memilih pendekatan dengan menggunakan pemberdayaan pengurus adat yang ada. [9] Penyiar radio komunitas rata-rata tidak tamat SMP, merupakan tantangan yang sangat berat bagi PENA untuk mendidik sumber daya manusia di bidang radio komunitas. (D. Okbertus Srikujam)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar