26 Juni 2008

MASYARAKAT ADAT DAN PENGAKUAN NEGARA

Bagi masyarakat adat di seluruh nusantara, tanggal 17 Maret merupakan tongak paling bersejarah dalam perjuangan mereka melawan diskriminasi, pembodohan dan peminggiran secara sistimatis. Karena pada tanggal tersebut, masyarakat diseluruh Nusantara memulai sebuah gerakan bersama guna memperjuangkan hak-hak adatnya dan memposisikan dirinya sebagai komponen utama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sembilan tahun lalu, tepat nya tanggal 17 Maret 1999, Masyarakat Adat Nusantara menghadiri kongres Masyarakat Adat Nusantara Pertama (KMAN I) yang melahirkan beberapa rekomendasi yang diantaranya adalah terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan komunitas-komunitas Masyarakat Adat di seluruh nusantara dan menetapkan tanggal 17 Maret sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara.
Selaian menetapkan tanggal 17 Maret sebagai hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, Kongres yang dilaksanakan di Jakarata pada tanggal 17 – 22 Maret 1999 ini juga mengeluarkan keputusan Kongres dengan SK NO 02/KMAN/1999 yang menyatakan bahwa: 1. Adat adalah sesuatu yang luhur dan menjadi landasan kehidupan Masyarakat Adat yang utama. 2. Adat dinusantara ini sangat majemuk, karena itu, tidak ada tempat bagi kebijakan Negara yang berlaku seragam sifatnya. 3. Jauh sebelum Negara berdiri, Masyarakat Adat di nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan system kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu Negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat adat ini. 4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia yang tidak berbeda dengan mahluk manusia yang lain. Oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu, seluruh tindakan negara yang keluar dari kepatutan manusia universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri. 5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenaggungan, masyarakat Adat se nusantara wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat.
Menyadari betapa pentingnya mengalang kekuatan untuk menekan negara membuat kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat Adat, pada tanggal 19-25 semptember 2003, AMAN kembali melakukan kongres Masyarakata Adat Nusantara Kedua (KMAN II) yang di langsungkan di Lombok NTB dan KMAN III digelar di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007. Hasil dari kedua kongres ini jelas memperlihatkan bahwa negara, walaupun sudah mulai melakukan perubahan-perubahan kebijakan terkait dengan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak dasarnya, namun masih setengah hati untuk melaksanakan pengakuan tersebut. Masyarkat Adat dinusantara masih terus menghadapi beragam bentuk pemaksaan, penaklukan, dan eksploitasi. Penguasaan negara atas sebagian besar tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah-wilayah adat masih terus berlangsung. Berbagai kelompok Masyarakat Adat masih terus digusur secara paksa dari tanah leluhurnya untuk berbagai proyek pembangunan. Pemerintah masih terus memberi Hak Guna Usaha (HGU) dan kuasa Pertambangan dan perkebunan yang baru di wilayah-wilayah adat kepada para pemilik modal tanpa pemberitahuan dan perundingan yang layak sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat adat setempat.
Ketidak seriusan negara dalam menyikapi permasalahan yang dihadapai Masyarakat Adat membuat bentrokan antara masyarakat Adat dan Perusahaan, baik fisik maupun non fisik, tidak terelakan lagi. Perusahaan sebagai kaki tangan penguasa mencoba merampas tanah dan hutan adat yang dipertahankan mati-matian oleh Masyarakat Adat sebagai Pemilik. Namun dengan kekuatan Perundang-undangan dan berbagai alasan, Masyarakat Adat selalu saja kalah apabila berhadapan dengan perusahaan di Pengadilan.
Kekalahan Masyarakat Adat di ranah hukum formal disebabkan banyak hal. Salah satunya, tidak adanya perangkat perundang-undangan yang dibuat pemerintah, yang pro terhadap Masyarakat adat. Produk perundang-undangan sepeti undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Kehutanan, undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan dan undang-undang investasi yang dibuat selalu saja berpihak kepada pemilik modal yang akhirnya mengancam eksistensi Masyarakata Adat di negeri ini.
Pengakuan negara terhadap Masyarakat Adat sebenarnya sudah tercantum di dalam UUD 1945, pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan “ Negara Mengakui dan Menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Namun karena setengah hati dan “pengakuan yang tidak tulus”, produk perundang-undangan yang mengatur Perlindungan hak-hak Masyarakat Adat yang diamanatkan oleh UUD 1945 tersebut, tidak pernah di realisasikan dan di patuhi oleh pemerintah berkuasa hingga komunitas masyarakat adat sampai saat ini masih terpinggirkan. .
Kondisi ini menuntut Masyarakat Adat dan Ornop-ornop yang konsen, untuk terus menerus menekan negara membuat sebuah peraturan yang melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat secara utuh tanpa syarat apapun sehingga Masyarakat Adat tidak lagi terpinggirkan. Bahkan untuk menegaskan kembali, Masyarakat Adat perlu membangkitkan pernyataan bersama pada Kongres Masyarakat Adat Pertama (KMAN I) yang berbunyi “ KAMI TIDAK AKAN MENGAKUI NEGARA, APABILA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI”. *Penulis adalah Direktur Perkumpulan PENA Kalbar.

( D. Okbertus Srikujam)

Tidak ada komentar: