Pendahuluan
Wacana anti ilegal logging sekarang menjadi demam di Indonesia. Demam ini melanda hampir semua orang mulai dari pejabat (daerah atau pusat), aktivis ornop, penegak hukum berbicara tentang ilegal logging. Tulisan kecil ini tidak bermaksud untuk membenturkan perbincangan menjadi kontra terhadap kampanye anti ilegal logging. Kami juga tidak bermimpi tulisan ini akan menjadi sebuah counter paradigm terhadap wacana ilegal logging. Kami hanya bermaksud untuk mengajak kita memikirkan kembali langkah yang selama ini telah kita lakukan dalam kampanye anti ilegal logging tanpa melupakan akar persoalan yang sama yakni terjadi kerusakan hutan yang sangat parah di Indonesia.
A. Beberapa Pemikiran
Kami hendak mengajak kita bersama memikirkan kembali beberapa hal yang menurut kami mendasar di balik kampanye anti ilegal looging , yakni :
1. Tentang istilah illegal logging
Sebenarnya apa sih ilegal logging ? Menurut Longgena Ginting, penebangan liar (illegal logging) biasanya dijelaskan sebagai sesuatu operasi penebangan yang tidak sah karena tidak memiliki ijin resmi.
Dengan mengacu pada pengertian diatas, maka ada beberapa hal yang harusnya menjadi pemikiran kita mendalam. Dalam konteks realitas hukum Indonesia saat ini, masihkah kita bisa dengan jelas membedakan mana yang ilegal dan mana yang legal ? Bukankah segala sesuatu yang nampaknya ilegal kemudian bisa menjadi legal. Demikian pula sebaliknya.
Berbicara tentang istilah ilegal logging akan sangat mudah jika kita berada di dalam dunia peradilan di barat. Peradilan yang dengan jelas kita bisa membedakan hanya dengan melihat sebuah aturan undang-undang atau yurisprudensi mahkamah agung. Orang dengan mudah dapat dikategorikan ilegal atau legal perbuatannya dengan indikator dan jaminan hukumnya jelas. Dalam konteks Indonesia hal ini masih menjadi utopia.
Jika kita bicara tentang ilegal logging, artinya kita juga bicara bahwa penebangan di sebuah kawasan taman nasional atau hutan lindung adalah terlarang. Tetapi apakah kita pernah bicara bagaimana prosedur penetapan suatu kawasan untuk dijadikan kawasan taman nasional atau kawasan lindung ? Apakah kita juga berlagak tidak mau tahu apakah terjadi proses konsultasi dengan masyarakat dalam kawasan taman nasional / kawasan lindung pada saat penetapan ? Apakah masyarakat tersebut setuju dengan penetapan tersebut ? Bagaimana dengan konsep kepemilikan menurut Masyarakat Adat ? Bagaimana dengan ijin kegiatan penebangan yang diberikan oleh negara pada areal yang milik masayrakat adat ? Jika masyarakat adat tidak pernah mengijinkannya maka apakah ijin negara tersebut legal atau ilegal di mata hukum ?
Bagaimana pula bisa dikategorikan ilegal jika penebang kayu tersebut membayar retribusi yang sah dan jelas kepada pemerintah (daerah) ? mari kita lihat kutipan pernyataan dari Kapolda Kalbar pada tanggal 6 Agustus 2004 : “ Di Badau, disana kayu keluar masuk seenaknya. Jalan disana penuh. Waduh setiap hari . ternyata setelah diselidiki mereka bayar Rp. 50 ribu setiap truk ke pemda setempat. Tidak mungkin kita ribut dengan Pemda,”.
2. Tentang kemampuan negara memenuhi kebutuhan rakyat
Bahwa rakyat mendapatkan keuntungan ekonomi yang luar biasa dari proses penebangan hutan tidak dapat dipungkiri. Media lokal dengan kencang menulis bahwa para cukong kayu dari Malaysia menepati janji mereka untuk membangun sarana air bersih, memperbaiki rumah panjang serta membangun fasilitas umum lainnya jika masyarakat menebang kayu dan menjualnya pada mereka. Roda perekonomian masyarakat berputar. Lapangan kerja tersedia untuk penebang, kuli angkut hingga supir truk. Rakyat merasa lebih sejahtera dengan menebang kayu.
Pertanyaan mendasar buat kami adalah apakah sebenarnya tugas pemerintah di republik ini jika tidak mampu menyediakan infrastruktur, lapangan pekerjaan dan mensejahterakan rakyat ? berapa banyak janji yang sudah diberikan untuk ketersedian ketiga hal diatas ? tapi bagaimana dengan pemenuhan janjinya ? lalu ketika ada pihak lain yang mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat secara nyata, mengapa tidak dijadikan cerminan untuk berintropeksi diri ? rakyat sudah capek mendengar janji, mereka hanya ingin sebuah bukti bahwa mereka akan sejahtera.
Runtuhnya rumah kertas orde baru tidak dapat dipungkiri menjadi pendorong dari beraninya orang melakukan berbagai kegiatan yang dulunya dianggap terlarang atau memang dilarang. Tidak terkecuali dalam menebang hutan. Dulu orang takut menebang hutan karena jika yang melakukannya bukan sebuah perusahaan, maka orang akan terancam dipenjarakan. Runtuhnya orde baru juga membuat runtuhnya sendi-sendi takut hukum pada diri masyarakat. Keruntuhan ini diperparah dengan prilaku birokrat dan aparat penegak hukum yang bisa disuap atau korup.
3. Tentang ketegangan hubungan pusat-daerah
Pelaksanaan otonomi daerah tak pelak memimbulkan raja kecil di daerah-daerah. Para bupati dan kepala daerah atas nama mendapatkan Pendapatan Asli Daerah, tanpa berpikir panjang mengeluarkan ijin HPHH (hak pemanfaatan hasil hutan) di daerahnya.
Kelakuan ini sebenarnya penyakit lama bagi orang yang baru berkuasa. Kita tentu masih ingat ketika baru berkuasa, pada tahun 1967, Suharto mengeluarkan UU Kehutanan dan UU Pertambangan yang sangat eksploitatif. Alasannya ketika itu adalah mengundang investor untuk mendapatkan devisa negara sebesar-besarnya. Sejarah kemudian mencatat, pemberian ijin HPH secara besar-besaran yang sangat eksploitatif dan pengerukan secara tidak bertanggungjawab terhadap kekayaan tambang Indonesia.
Obral ijin HPHH ini menurut kami tidak hanya dilihat dari keinginan memperkaya diri oleh para pejabat lokal tetapi juga harus dilihat dalam persfektif perasaan termarginalisasinya daerah dalam program pembangunan. Ketidakjelasan antara hak dari daerah terhadap hasil dari eksplotasi sumber daya alamnya. Sejak amsa orde baru berkuasa sudah puluhan ijin HPH dikeluarkan di Kalimantan Baarat. Entah berapa ratus juta dolar yang telah dikeruk dari ijin ini. Lalu apa yang di dapat oleh Kalimantan Barat ? yang kasat mata kita lihat dan kita rasakan adalah sangat buruknya kwalitas jalan antar kabupaten di provinsi kita. Karenanya tidak heran jika Bupati Sintang dengen enteng menahan setoran dana reboisasi untuk pusat dengan alasan harus ada kejelasan dari pembagian setoran sebelumnya.
4. Tentang tumpang tindihnya kebijakan
Menurut kami seorang ahli hukum terhebat di dunia inipun akan geleng-geleng kepala melihat aturan hukum di Indonesia. Haampir pasti kita bisa mengatakan tidak akan pernah ada kepastian hukum di negeri ini. Kita tentu masih ingat bagaimana dengan tegas Pasal 83 UU No; 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang melarang kegiatan penambangan di kawasan lindung. Namun pada tahun 2004, dengan Perpu no: 1 tahun 2004, pemerintah (dengan persetujuan hasil vooting DPR) menyetujui kegiatan penambangan di kawasan lindung.
5. Tentang kerusakan hutan
fakta bahwa terjadi kerusakan hutan yang sangat parah akibat penebangan yang tidak terkendali adalah hal yang tak dipungkiri. Namun sekali lagi kami hendak mengajak kita semua disini untuk meletakan kerangka pikir kita pada “kerusakan hutan” bukan pada ilegal atau legalnya sebuah kegiatan logging. Kami berpendapat bahwa banyak data menunjukan terjadi kerusakan hutan yang parah oleh kegiatan HPH, sebuah kegiatan yang legal. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan yang dikategorikan sebagai kegiatan ilegal.
Menurut kami kerangka pikir kita harus diletakan sederajat antara legal atau ilegal. Kita harus meletakannya pada kerangka bahwa semua kegiatan yang merusak hutan, baik ilegal atau legal harus kita lawan bersama.
B.Kesimpulan
Dari beberapa point diatas kami berkesimpulan : Penggunaan istilah ilegal logging untuk melawan kerusakan hutan adalah sebuah kelatahan yang terlalu menyederhanakan persoalan dan akhirnya membuat kita lupa akar persoalan sebenarnya yakni kerusakan hutan.
C. Rekomendasi :
Sebagai ornop marilah kita menggunakan istilah Destructive logging (kalau kita merasa istilah bahasa inggris lebih keren) untuk kegiatan apapun yang dilakukan oleh siapapun yang telah merusak hutan.
Penghentian kegiatan destructive logging bukanlah cara instans. Upaya penegakan hukum adalah langkah paling mudah dan murah saat ini. Tapi bukan berarti kita menutup mata terhadap masalah mendasar yang dihadapi oleh rakyat yakni persoalan kesejahteraan.
Harus ada solusi yang benar-benar masuk akal, bermanfaat dan disetujui oleh rakyat untuk persoalan destructive logging. Jangan sampai pemerintah mengambil langkah aneh dan tidak nyambung. Salah satu yang paling nyata adalah kutipan Harian KOMPAS tanggal 16 April 2004 ; “ Untuk atasi penebangan liar pemda Kalbar berencana meimport sapi dari Australia sebanyak 1500 ekor untuk dibagikan ke masyarakat,” kata Gubernur Kalbar Usman Djafar.
oleh : Perkumpulan PENA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar